Sabtu, 01 Agustus 2015

Artritis Reumatoid Juvenil

(DARI PPT II)
Artritis Reumatoid Juvenil
Artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang paling sering
ditemukan pada anak. Artritis reumatoid juvenil didefiisikan sebagai adanya tanda
objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu pada
anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain pada anak telah disingkirkan.
Adapun artritis didefiisikan sebagai pembengkakan pada sendi atau ditemukannya dua
atau lebih tanda berikut: keterbatasan gerak, nyeri tekan, nyeri saat bergerak, atau sendi
teraba hangat.
Patogenesis ARJ didasari oleh mekanisme kompleks imun. Banyak sekali faktor etiologi
yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ seperti infeksi, autoimun, trauma, stres
serta faktor imunogenetik. Penyakit ARJ umumnya mudah mengalami remisi, sehingga
pengobatan ditujukan untuk mencegah komplikasi dan timbulnya kecacatan terutama
yang mengenai sendi.
Diagnosis
Anamnesis
- Inflmasi sendi: gerakan sendi terbatas, nyeri bila digerakan dan teraba panas.
- Gejala yang sering pada anak kecil adalah kekakuan sendi pada pagi hari.
- Ekspresi nyeri pada anak lebih kecil bisa berupa perubahan postur tubuh.
- Pada awitan sistemik ditemukan demam tinggi intermiten selama 2 minggu atau
lebih.
- Gejala umum lain adalah tidak nafsu makan, berat badan menurun, dan pada gejala
yang berat bisa terjadi gangguan tidur di malam hari karena nyeri.
Pemeriksaan fiis
- Sendi teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritem
- Pembengkakan atau efusi sendi
- Gerakan sendi terbatas
- Tipe awitan poliartritis: artritis lebih dari 4 sendi, biasanya mengenai sendi–sendi jari
dan simetris, dapat juga mengenai sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
2 Artritis Reumatoid Juvenil
- Tipe awitan oligoartritis: tanda artritis ditemukan pada 4 sendi atau kurang, sendi
besar lebih sering terkena dan biasanya di daerah tungkai.
- Tipe awitan sistemik: suhu tubuh >390C, tanda artritis, biasanya disertai kelainan
sistemik lain seperti ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali,
serositis, limfadenopati).
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ARJ dapat ditegakkan secara klinis, beberapa pemeriksaan imunologik tertentu
dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium
yang spesifi untuk ARJ.
- Pemeriksaan darah tepi: anemia ringan/sedang, Hb 7-10g/dl. Leukositosis dengan
predominasi netrofi. Trombositosis pada tipe sistemik berat atau poliartritis sering
dipakai sebagai tanda reaktivasi ARJ.
- Petanda aktivitas penyakit antara lain adalah LED dan CRP yang biasanya meningkat
sesuai aktivitas penyakit.
- Pemeriksaan C3 dan komponen hemolitik meningkat pada ARJ aktif.
- Faktor reumatoid jarang ditemukan pada ARJ, tetapi bila positif biasanya dihubungkan
dengan ARJ tipe poliartritis, anak lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau
kondisi fungsional lebih buruk.
- Pemeriksaan ANA positif terutama pada tipe oligoartritis dengan komplikasi uveitis,
lebih sering pada anak perempuan.
- Pencitraan dilakukan untuk memeriksa kerusakan sendi yang terjadi. Kelainan
radiologis pada sendi: pembengkakkan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran
ruang sendi, osteoporosis, dan kadang-kadang dapat ditemukan formasi tulang
baru periosteal. Pada tingkat lebih lanjut (lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi
tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan
terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Kelainan tulang juga dapat dideteksi
dengan skintigraf dan radio imaging.
Tata laksana
Tujuan penatalaksanaan artritis kronik adalah: meredakan nyeri, mengembalikan
fungsi, mencegah deformitas, dan mengontrol inflmasi. Tujuan jangka panjang adalah
meminimalisasi efek samping pengobatan, meningkatkan proses tumbuh kembang,
rehabilitasi dan edukasi.
Medikamentosa
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif.
- Obat anti inflmasi non steroid (AINS):
Pedoman Pelayanan Medis Edisi II 3
o Asam asetil salisilat: dosis 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian;
diberikan 1-2 tahun sampai gejala klinis menghilang
o Naproksen: dosis 10-15mg/kgBB dibagi dua; diberikan untuk mengontrol
nyeri, kekakuan dan inflmasi pada anak yang tidak responsif terhadap asam
asetilsalisilat atau sebagai pengobatan inisial.
o Analgetik lain: asetaminofen dapat bermanfaat mengontrol nyeri dan demam
terutama pada penyakit sistemik namun tidak boleh diberikan jangka panjang
karena menimbulkan kelainan ginjal.
- Obat antireumatik kerja lambat seperti hidroksiklorokuin, preparat emas (oral atau
suntikan), penisilamin dan sulfasalazin. Obat ini hanya diberikan untuk poliartritis
progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS. Hidroksiklorokuin dapat
bermanfaat sebagai obat tambahan pada anak besar, dosis awal 6-7mg/kgBB/hari,
setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan
tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.
- Kortikosteroid jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intra-artikular. Untuk sistemik berat yang tidak terkontrol diberikan
prednison 0,25-1mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40 mg) atau dosis terbagi
pada keadaan yang lebih berat. Bila ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan
perlahan dan kemudian dihentikan. Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan
pada oligoartritis yang tidak berespons dengan AINS atau sebagai terapi suportif
untuk sendi yang sudah mengalami inflmasi dan kontraktur. Kortikosteroid intraartikular juga dapat diberikan pada poliartritis bila satu atau beberapa sendi tidak
berespons dengan AINS. Triamsinolon heksasetonid merupakan pilihan dengan dosis
20-40 mg untuk sendi besar.
- Kombinasi AINS dengan steroid pulse therapy dapat digunakan untuk artritis onset
sistemik. Metilprednisolon dengan dosis 15-30 mg/kgBB/pulse. Protokol yang
diberikan adalah single pulse dengan jarak 1 bulan dengan pulse berikutnya, atau 3
pulse diberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1 bulan, atau 3 pulse diberikan secara
berselang dalam 1 bulan. Selama pemberian terapi ini harus dilakukan monitoring
kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Imunosupresan diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang
mengancam kehidupan walaupun beberapa pusat reumatologi sudah memakainya
dalam protokol baku. Obat yang dipakai adalah azathioprin, siklofosfamid, klorambusil
dan metotreksat. Yang paling sering digunakan adalah metotreksat yang diindikasikan
untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan AINS,
hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis inisial 5mg/m2/minggu; bila respons tidak
adekuat setelah 8 minggu, dosis dapat dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu. Lama
pengobatan 6 bulan dianggap adekuat.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.
4 Artritis Reumatoid Juvenil
Suportif
Edukasi pasien dan keluarga: pengenalan dan tata laksana dini merupakan hal penting
untuk mencegah deformitas yang lebih luas. Pengertian tentang penyakit ARJ pada
keluarga dan lingkungan sangat diperlukan untuk mencegah gangguan emosi pada
pasien.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya)
- Rehabilitasi medik untuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi
- Ahli ortopedi
- Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi dini uveitis
- Psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi akibat kronisitas
penyakit
- Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain
Pemantauan
Pemantauan terapi mencakup pemantauan efek samping (misalnya, gangguan
gastrointestinal pada terapi asam salisilat) dan efektivitas pengobatan. Pemantauan
aktivitas penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium (LED, CRP).
Pemantauan tumbuh kembang: pemantauan perkembangan fiik dan mental dilakukan
setiap bulan untuk deteksi dini gangguan tumbuh kembang akibat pengobatan
maupun penyakitnya sendiri.
Kepustakaan
1. Sack KE, Fyle KH. Rheumatic disease. Dalam: Parslow Tg, Stites DP, Ter AI, Imboden JB, penyunting.
Medical immunology. Edisi ke-9. Philadelphia: Appleton & Lange; 2001. h. 370-79
2. Scackker JG, Szer I. Rheumatic disorders. Dalam: Steihm ER, penyunting. Immunologic disorders in
infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1989. h. 439-74
3. Ashman RF. Rheumatic Disease. Lawlor GJ, Fisscher TJ, penyunting. Dalam: Manual of allergy and
immunology: diagnosis and therapy. Boston: Little Brown; 1981. h. 205-14
4. Cassidy Jt. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Kelley WN Harris ED, Ruddy S, Sledge CT, penyunting.
Textbook of rheumatology. Edisi ke -2. Philladelphia: WB Saunders Co; 1993. h. 1189-1208
5. Juvenile Rheumatoid Arthritis and juvennile spondyloarthropaties. Dalam: Klippel JH, Weyand
CM, Wortmann RL, penyunting. Primer on the rheumatic diseases. Edisi ke-11. Atlanta: Arthritis
Foundation
6. Cassidy JT and Petty RE. Chronic arthritis in childhood. Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, Lindsley
CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders. h. 206-
45.

1 komentar:

  1. Impotensi / Disfungsi ereksi atau dikenal juga dengan lemah syahwat merupakan kondisi dimana seorang pria tidak mampu ereksi (penis tegang/keras).

    Kondisi ini juga bisa diartikan ketidakmampuan seorang pria mempertahankan ereksinya ketika melakukan hubungan seksual. Dengan kata lain, Penis atau alat vital pria kurang keras atau lembek.

    Kondisi ini sebenarnya sangat berbahaya bagi kehidupan seksual sebuah pasangan. Namun kebanyakan pria malu untuk mengakui dan mengkonsultasikan masalah ini. Padahal dengan berkonsultasi, komunikasi dengan pasangan dan pengobatan yang tepat akan membuat lebh mudah menyembuhkan kondisi ini.

    Andrologi | bagaimana mengatasi kulup panjang

    Apakah sunat sakit | Metode sunat modesn terkini

    hubungi Dokter | Chatting gratis

    BalasHapus